Selembar Kenangan di Antara Setumpuk Masa Lalu
Pagi menuai embun dari lembaran rerumpun padi yang menguning. Sayup-sayup angin semilir menjatuhkan tetesnya, menetes ke pematangan sawah. Burung-burung tampak kegirangan menatap buliran padi dari awang angkasa. Hanya saja dia takut mendekat, takut-takut si Bapak kayu jerami akan melemparinya. Pondok-pondok kecil itu menambah keindahan tersendiri di antara hijau padi yang tingginya bisa melebihi aku saat itu. Itulah keadaannya, dulu. Masihkah kamu merasakan sebentuk keindahan itu? Ditambah dengan pohon rindang di persimpangan jalan itu, menyejukkan betapa hangatnya suasana
Keadaan seperti itu yang dulu kami lewati setiap harinya. Menemani kami bermain di sela waktu. Menyaksikan aku dan temanku bermain engklek dan lompat karet di depan rumah atau untuk sekedar menyaksikan aku dan abangku menarik ulur tali di jalanan siang yang terik.
Begitulah keadaannya dulu...
Di saat para petani telah menyabit padinya dan tanah telah pecah mengering, maka itulah lahan bermain kami. Kami menyempatkan waktu petang untuk bermain krim bersama. Atau aku dan temanku akan duduk di bangunan rumah setengah tak jadi di belakang rumahku untuk sekedar menggambar di atas lembaran putih.
Kadang bersama kakakku, sepulang jalan-jalan pagi, kami memetik tumbuhan berwarna hitam yang namanya takku tahu pasti untuk kami rendam di dalam baskom air. Lalu, Plup. Menyaksikan tumbuhan itu meledak satu persatu.
Dan masih teringat jelas dalam ingatanku, di saat aku harus menyusuri pematang sawah untuk dapat mencapai sekolahku. Aku harus menerima tapak sepatuku basah, bergesekan dengan embun rerumputan.
Itu dulu. Dan sekarang keadaannya tak lagi begitu.
Tak ada lagi padi. Tak ada lagi burung berterbangan di langit lepas. Tak ada lagi pondok-pondok kecil di atas pematang sawah. Tak ada lagi si bapak kayu jerami. Dan tak ada lagi kebiasaan itu...
Pembangunan rumah sekolah itu sedikit demi sedikit merampas keindahan yang kami rasakan. Pembangunan rumah-rumah besar nan elit pun perlahan telah menggantikan petak-petak sawah hijau yang dulu pernah ada.
Di saat aku terbangun dari tidur lelapku, tak bisa lagi kudengar suara serangga di sekitar rumahku. Tak ada lagi yang kurasakan perasaan yang dulu. Yang ada hanya risau, takut-takut ada manusia berhati kotor mengusik ketentraman kami, karena kami tak lagi seaman dulu. Mungkin, pembangunan rumah-rumah besar nan elit di tempatku ini mengundang mereka datang dan mencoba merampas bahagia ini.
Jalanan telah di aspal, hanya saja sekarang aku merindukan jalan berbatu itu. Di saat hujan, air dapat mengalir di selanya. Memberi jalan pada ikan-ikan kecil untuk melawat ke petak sawah sebelah. Dan diam-diam aku bisa memberikan sisa nasiku kepada mereka.
Pohon rindang di persimpangan itu kini malah berdosa sebagai tempat muda-mudi menuntaskan rindu. Dan aku harus menerima kenyataan pohon itu harus di tebang sebelum menjadi tempat yang menakutkan. Mereka menebang pohon itu, menyayat rasaku. Tempat itu kini telah berdosa...
Dulu, keadaannya tak begitu.
Seperti yang pernah kukatakan, SETIAP KEADAAN SELALU BERHASIL MENINGGALKAN KENANGAN, DAN MENOREH KATA RINDU DALAM CATATAN.
0 komentar:
Post a Comment