Wednesday, 29 May 2013

Hidup dalam lintasan waktu

 
Aku berlari dalam lintasan waktu yang tak pernah henti. Sesekali aku berlari dalam barisan depan, namun tak jarang aku tertinggal sendiri. Ada semangat membara di masa muda yang membuatku terus berkeinginan berlari dalam lintasan itu, menjadi yang terdepan, menjadi yang terbaik di antara yang lainnya. Kuikat tali sepatuku dengan kencang. Telah kumulai untuk mengarungi lintasan itu…

Tak jarang aku tersandung oleh hal kecil sekalipun, namun beberapa orang di tempat penonton itu menyemangatiku, keluargaku dan sahabatku.  Mereka terus memberi dorongan kepadaku. Dalam diamnya, mereka pasti mendoakanku. Dari raut wajah mereka ada rasa takjub, ada rasa was-was, ada rasa cemas tak menentu. Aku harus merubah raut itu menjadi senyum kebanggan mereka terhadapku. Tekatku kuat menjalar ke seluruh tubuh. Menguatkanku, aku akan berlari sekencang apapun yang aku bisa.
 
Belum jauh aku berlari, rasa egois sempat merajai fikiranku. Inginku berlaku curang terhadap sainganku. Ingin aku menyikutnya di persimpangan itu, biar saja dia jatuh berguling keluar lintasan. Namun, orang-orang yang kucinta seolah memberi sugesti kepadaku, aku tak boleh melakukan itu! Sekalipun hidup itu kompetisi, aku tak boleh berlaku kasar agar yang lainnya kalah dariku.
 
Hidup itu keras, kawan! Disaat beberapa diantaranya sudah jatuh terkulai tak berdaya didepan mata, yang sebagian lain hanya melihatnya, lalu memilih terus berlari. Mereka bahkan tak punya cukup waktu sekedar mengulurkan tangannya untuk saling membantu. Sekelompok anggota pelari  malah terlihat bersekongkol untuk menjatuhkan yang lainnya. Lalu, sekelompok anak itu malah saling menjatuhkan satu sama lainnya. Waktu yang memaksa untuk bersikap egois sesamanya.
 
Air mata tumpah dalam tangis. Aku merasa tak kuat melewati lintasan waktu yang brutal ini. Aku tak punya cukup nyali untuk masuk dalam kompetisi yang secara tidak sadar membentuk kepribadian kasar seperti ini. Namun, kuusap air mataku. Kuyakinkan diriku bahwa aku mampu. Setidaknya aku mampu tetap menjadi diriku, tak akan terpengaruh oleh mereka yang hanya berani melakukan kecurangan itu. Mereka bahkan tidak menyanggupi kemampuannya untuk bisa memenangkan kompetisi dengan usaha murni mereka sendiri.
”Kalah setelah berusaha secara baik-baik akan sangat lebih bagus dari pada menang tapi dengan cara yang tidak wajar.” Itulah prinsipku.
 
Setiap aku menatap mereka yang kucinta, aku seperti mendapat subsidi energi baru. Ada mereka yang setia memberi motivasi kepadaku, sudah seharusnya aku tetap maju! Demi mereka, demi kebahagianku.
 
Namun, pernah di suatu waktu aku merasa sangat kelelahan, bahkan tak mampu untuk sekedar merayap dalam lintasan. Ingin aku keluar dari lintasan saat itu. Ingin kuakhiri saja kompetisi lari melintasi waktu ini. Namun, aku merasa sangat bodoh jika harus menyerah. Aku adalah orang yang sangat beruntung yang bisa berada dalam kompetisi ini. Yang lain bahkan telah terlebih dahulu tersingkir, karena alam telah menyeleksinya. Aku tak boleh menyerah. Aku mulai kembali bangkit menggapai ujung lintasan. Walaupun aku tak tahu akan menang atau malah kalah. Aku percaya, setiap usaha pasti akan mendapat imbalan. Selebihnya aku harus percaya pada diriku sendiri.
 
Riuh gemuruh sayup-sayup terdengar dari telingaku. Peluh bercucuran membasahi tubuh kecilku. Ntah berapa putaran lagi yang harus kulalui setelah ini. Ntah berapa kali lagi aku harus terjatuh untuk sampai menggapai garis finish itu. Aku tak tahu. Yang kupunya sekarang hanyalah usaha, doa, dan motivasi. Aku rasa ini modal yang cukup bagiku untuk terus bertahan dalam lintasan waktu yang tak ku tahu kapan akan berhenti.
 
Keluarga dan sahabatku mengatakan bahwa aku adalah kebahagiannya. Karena itu, aku tak ingin kalah begitu saja. Aku tak ingin mereka malu denganku. Aku bisa, harus bisa! Aku gadai rasa takutku, kutukar dengan nyali dan rasa percaya diri
  
Ini hidupku, aku yang akan menjalani. Orang lain tak bisa selalu membantuku, tak juga mama dan papaku. Waktu akan terus berlalu, aku tak bisa memilih tetap diam dalam satu dimensi waktu, dan aku tak mungkin berjalan melawan arus waktu. Aku terus berlari ke depan. Lelah, sakit hati, namun ada kepuasan tersendiri. Aku harus berusaha!
 
Hidup, itulah yang kumaksud dengan lintasan waktu. Terus berputar, tak kan perduli sekalipun kau bersujud memohon kepadanya untuk menunggu. Kita harus tetap melewatinya, namun, tetaplah berlaku seperti dirimu sendiri. Janganlah mengacuhkan yang lainnya demi kepentingan pribadimu. Alam akan menyeleksi secara perlahan mereka yang curang terhadap yang lainnya. Maka biarkan waktu yang kemudian memberi balasan kepada mereka.
 
Selama kamu berlaku baik terhadap yang lain, selama itu pula kamu akan berada dalam selimut tebal yang tak tampak dan akan melindungi masa-masa sulitmu. Zona amanmu, kamulah yang akan menentukannya.

0 komentar:

Post a Comment