Aku berlari
dalam lintasan waktu yang tak pernah henti. Sesekali aku berlari dalam barisan
depan, namun tak jarang aku tertinggal sendiri. Ada semangat membara di masa muda yang
membuatku terus berkeinginan berlari dalam lintasan itu, menjadi yang terdepan,
menjadi yang terbaik di antara yang lainnya. Kuikat tali sepatuku dengan
kencang. Telah kumulai untuk mengarungi lintasan itu…
Tak jarang aku
tersandung oleh hal kecil sekalipun, namun beberapa orang di tempat penonton
itu menyemangatiku, keluargaku dan sahabatku.
Mereka terus memberi dorongan kepadaku. Dalam diamnya, mereka pasti mendoakanku. Dari raut wajah mereka ada rasa
takjub, ada rasa was-was, ada rasa cemas tak menentu. Aku harus merubah raut
itu menjadi senyum kebanggan mereka terhadapku. Tekatku kuat menjalar ke seluruh
tubuh. Menguatkanku, aku akan berlari sekencang apapun yang aku bisa.
Belum jauh aku berlari, rasa egois sempat merajai
fikiranku. Inginku berlaku curang terhadap sainganku. Ingin aku menyikutnya di
persimpangan itu, biar saja dia jatuh berguling keluar lintasan. Namun,
orang-orang yang kucinta seolah memberi sugesti kepadaku, aku tak boleh
melakukan itu! Sekalipun hidup itu kompetisi, aku tak boleh berlaku kasar agar
yang lainnya kalah dariku.
Hidup itu keras, kawan! Disaat beberapa
diantaranya sudah jatuh terkulai tak berdaya didepan mata, yang sebagian lain
hanya melihatnya, lalu memilih terus berlari. Mereka bahkan tak punya cukup
waktu sekedar mengulurkan tangannya untuk saling membantu. Sekelompok anggota
pelari malah terlihat bersekongkol untuk
menjatuhkan yang lainnya. Lalu,
sekelompok anak itu malah saling menjatuhkan satu sama lainnya. Waktu yang memaksa untuk bersikap egois
sesamanya.
Air mata tumpah dalam tangis. Aku merasa tak kuat
melewati lintasan waktu yang brutal ini. Aku tak punya cukup nyali untuk masuk
dalam kompetisi yang secara tidak sadar membentuk kepribadian kasar seperti
ini. Namun, kuusap air mataku. Kuyakinkan diriku bahwa aku mampu. Setidaknya aku
mampu tetap menjadi diriku, tak akan terpengaruh oleh mereka yang hanya berani
melakukan kecurangan itu. Mereka bahkan tidak menyanggupi kemampuannya untuk
bisa memenangkan kompetisi dengan usaha murni mereka sendiri.
”Kalah setelah berusaha secara baik-baik akan
sangat lebih bagus dari pada menang tapi dengan cara yang tidak wajar.” Itulah
prinsipku.
Setiap aku menatap mereka yang kucinta, aku
seperti mendapat subsidi energi baru. Ada mereka yang setia memberi motivasi
kepadaku, sudah seharusnya aku tetap maju! Demi mereka, demi kebahagianku.
Namun, pernah di suatu waktu aku merasa sangat
kelelahan, bahkan tak mampu untuk sekedar merayap dalam lintasan. Ingin aku
keluar dari lintasan saat itu. Ingin kuakhiri saja kompetisi lari melintasi
waktu ini. Namun, aku merasa sangat bodoh jika harus menyerah. Aku adalah orang
yang sangat beruntung yang bisa berada dalam kompetisi ini. Yang lain bahkan
telah terlebih dahulu tersingkir, karena alam telah menyeleksinya. Aku tak
boleh menyerah. Aku mulai kembali bangkit menggapai ujung lintasan. Walaupun
aku tak tahu akan menang atau malah kalah. Aku percaya, setiap usaha pasti akan
mendapat imbalan. Selebihnya aku harus percaya pada diriku sendiri.
Riuh gemuruh sayup-sayup terdengar dari telingaku.
Peluh bercucuran membasahi tubuh kecilku. Ntah berapa putaran lagi yang harus
kulalui setelah ini. Ntah berapa kali lagi aku harus terjatuh untuk sampai
menggapai garis finish itu. Aku tak tahu. Yang kupunya sekarang hanyalah usaha,
doa, dan motivasi. Aku rasa ini modal yang cukup bagiku untuk terus bertahan
dalam lintasan waktu yang tak ku tahu kapan akan berhenti.
Keluarga dan sahabatku mengatakan bahwa aku adalah
kebahagiannya. Karena itu,
aku tak ingin kalah begitu saja. Aku tak ingin mereka malu denganku. Aku bisa, harus bisa! Aku gadai rasa
takutku, kutukar dengan nyali dan rasa percaya diri
Ini hidupku, aku yang akan menjalani. Orang lain
tak bisa selalu membantuku, tak juga mama dan papaku. Waktu akan terus berlalu,
aku tak bisa memilih tetap diam dalam satu dimensi waktu, dan aku tak mungkin
berjalan melawan arus waktu. Aku terus berlari ke depan. Lelah, sakit hati, namun
ada kepuasan tersendiri. Aku harus berusaha!
Hidup, itulah yang kumaksud dengan lintasan waktu.
Terus berputar, tak kan perduli sekalipun kau bersujud memohon kepadanya untuk
menunggu. Kita harus tetap melewatinya, namun, tetaplah berlaku seperti dirimu
sendiri. Janganlah mengacuhkan yang lainnya demi kepentingan pribadimu. Alam akan menyeleksi secara perlahan
mereka yang curang terhadap yang lainnya. Maka biarkan waktu yang kemudian
memberi balasan kepada mereka.
Selama kamu berlaku baik terhadap yang lain,
selama itu pula kamu akan berada dalam selimut tebal yang tak tampak dan akan
melindungi masa-masa sulitmu. Zona amanmu, kamulah yang akan menentukannya.
0 komentar:
Post a Comment