Tuesday, 27 December 2016
Saturday, 3 September 2016
Menjadi Tua (22)
Aku masih tidak mengerti mengapa pertambahan umur menjadi
sesuatu yang layak diberi selamat. Aku masih tidak mengerti filosofi meniup
lilin disaat kita mengulang hari kelahiran. Aku hanya setuju jika disaat
bertambah umur, kita harus kembali mengenang rasa sakit Mama melahirkan. Mengenang
hari dimana Mama mempertaruhkan nyawanya demi nyawa baru. Mencintainya semakin
banyak, karena setelah melahirkan, beliau menjaga, menyayangi dan mendidik kita
hingga saat ini, hingga aku genap berusia 22 tahun.
Menjadi tua bukan perkara umur saja, tapi fikiran, tindakan
dan harapan. Kita menjadi tua saat kita tidur dan masih terbangun di pagi hari.
Kita menjadi lebih tua saat yang lebih muda lahir setiap hari. Kita menjadi tua
bahkan saat kita berfikir belum pernah menikmati masa muda. Semua berlalu hanya
dalam sekejap mata. Dan kita merayakan
pertambahan umur setiap tahun, untuk semakin meyakinkan diri kita bahwa benar
kita bertambah tua. Siapa tahu ini akan menjadi tahun terakhir. Siapa tahu. Karena
Tuhan punya rencana yang tidak bisa kita tentukan akhirnya.
Manusia lahir tanpa pakaian apapun yang melekat, tanpa harta,
tanpa gelar, tanpa tahta, tanpa apa apa. Tapi, kita lahir bersamaan dengan
harapan-harapan besar para orang tua yang kita pikul pada pundak-pundak kita. Harapan-harapan
itu, sudahkah kamu mewujudkannya? Harapan-harapan itu, apakah kamu sudah
memahaminya? Setidaknya berusaha untuk memenuhinya?
Aku 22. Kini menyandang status sarjana, fresh graduate katanya. Walaupun masih tak cukup, setidaknya aku punya
suatu hasil yang bisa aku pertanggung jawabkan pada mama dan papa. Ini sebagai harapan,
yang mama dan papa merasa terwujud setelah mereka melihatku mengenakan baju
toga. Aku lulus tepat waktu, 3 tahun 9 bulan dengan nilai yang cukup
membahagiakan, sehingga predikat Cumlaude bisa didengungkan bersamaan dengan
namaku saat yudisium dan wisuda. Aku tepat duduk di belakang mama saat itu,
menatap mukanya yang menunduk dengan tenang menghela nafasnya. Air muka itu,
aku ingin melihatnya lagi. Aku merasa kecanduan untuk membuatnya bahagia lagi,
dan lagi. Berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan, bisa memenuhi
kebutuhannya, bisa melepaskan segala tanggung jawabnya sebagai orang tua dengan
menikahi seorang pria baik-baik yang tentu saja disenangi olehnya, oleh mama
dan papa. Mendapatkan ridhanya mereka dan mengenggam berkahnya Illahi Rabbi.
Seperti yang aku katakan
sebelumnya, aku telah menjadi tua, bukan perkara umur saja, tapi fikiran, tindakan
dan harapan. Apa yang salah dengan menjadi tua?
Monday, 20 June 2016
Clear The Way
Setelah sukses ngelewatin
masa-masa suram ngerjain TA, banyak yang nanya dan penasaran gimana rasanya
jadi sarjana. Well, aku kasih tau satu hal. Rasanya jadi sarjana itu, beban. Mau kemana setelah kuliah? Masa’
iya di rumah aja. Ga asik juga nangki
di kampus, berasa tua-nya. Uda
diteror pula dengan pertanyaan, “mau lanjut S2 kemana? Atau mau langsung
kerja?”. Tarik napas dulu kali.
Buat yang masih berjuang menanti
sidang putusan para dosen (cailah), aku
pengen bagi cerita pengalaman rasanya duduk di depan 5 dosen dan diajukan
pertanyaan yang kita ga pernah bayangin bakal di tanyain, dari yang paling
penting sampe yang engga banget. Buat
kamu yang sekalipun asli pinternya, pura-pura bodoh di dalam keadaan seperti
itu adalah solusi terbaik dari yang paling baik. Jangan sok belagu dan ngelawan
apa kata dosen, dalam situasi sidang. Pinter-pinter deh ngomong dan ngajak
diskusi para dosen yang lagi mengintrogasi, pasang tampang menyakinkan.
Hal lainnya yang perlu diketahui
bagi para mahasiswa, Jangan bicara yang engga perlu pas sidang. Karena setiap
kata yang keluar dari mulut, bisa aja nimbulin pertanyaan baru bagi para dosen
eksekusi. Keep calm sekalipun kamu ga
punya bayangan kayak apa jawabannya. Kalo kamu udah membatu, dosen yang nanyain
itu mungkin bakal kasih clue
menyangkut jawaban yang dipertanyakan. Ga bisa jawab satu – dua pertanyaan ga
buat hidup kamu berakhir sampai disitu. Tetap jaga attitude.
Di saat sidang, kamu akan menuai
apa yang kamu tanam selama masa-masa kuliah kamu beberapa tahun belakangan,
penentuan judul Tugas Akhir, pemilihan dosen pembimbing , masa penelitian,
penulisan laporan, seminar proposal dan hasil . Dalam hal ini, pemilihan dosen
pembimbing dan penentuan judul penelitian, aku rasa sesuatu yang mendasar.
Pilih dosen pembimbing yang baik
hatinya (syarat mutlak). Pastikan dosen tersebut
sering berada di kampus, atau yang bisa kita jumpai kapan aja. Pilih dosen yang
paling expert menyangkut Tugas Akhir kamu, selain agar bisa
membantu kamu jika punya kendala selama penelitian, hal ini juga untuk
mengantisipasi supaya beliau tidak menjadi dosen penguji kamu nantinya. Pilih
dosen yang humble, bersedia ngajarin kalau
kamu lagi buntu selama penelitian, bukan yang bakal ngerendahin kamu dan buat
kamu takut jumpai beliau untuk konsultasi. Yah, walaupun jarang ada dosen yang kumplit begini, setidaknya cari dosen
pembimbing yang memenuhi sebagian dari syarat ini. Ini akan sangat mempengaruhi
kamu dalam menyelesaikan Tugas Akhir.
Selain itu, pemilihan judul Tugas
Akhir juga penting. Kata kebanyakan orang, judul Tugas Akhir S1 jangan
susah-susah. Katanya takut makan waktu yang lama dalam penelitian. Untuk hal
ini, aku sih sebenarnya kurang setuju ya. Mahasiswa kan maunya punya judul
Tugas Akhir S1 yang kedengarannya aja
udah keren. Soalnya, ini bakal jadi sejarah untuk sepanjang hidup si
Mahasiswa. Masa’ iya ngerjain TA gitu-gitu aja, kayak ngerjain tugas kampus
atau projek-an final mata kuliah. Kan kurang greget (eseeeh). But, point-nya adalah pilih judul Tugas
Akhir yang kamu yakin banyak referensi yang me-refer to judul kita. Pastiin kita punya cukup sumber untuk
mempelajari hal tersebut. Disiplin adalah kunci utama, harus rajin baca, rajin
konsul, tahan banting dengan segala kemungkinan. Yah, usahanya juga harus
setimpal lah untuk menghasilkan sesuatu yang keren. Pastiin kita punya
pemahaman yang cukup tentang judul yang kita ajuin, sebelum kita naik seminar
proposal.
Kalau ada yang bilang “ngerjain Tugas Akhir itu gampang”, dia
itu bohong besar. Jarang ada mahasiswa yang mulus-mulus aja ngerjain Tugas
Akhir. Ada aja kendalanya, data yang kurang lah, referensi yang absurd,
penelitian yang gagal, hasil yang engga sesuai, dosen yang susah ditemui, malas
yang sering datang ga kenal waktu, kurang ini, kurang itu. Pokoknya ada aja.
Jadi, harap maklum kalo mahasiswa tingkat akhir ini menggalau dan suka sensi
atau tempramen tiba-tiba (wkwkwkw). Kalaupun kalian lihat ada mahasiswa tingkat
akhir yang tetap kalem dan ceria ketawa sana sini sekalipun dengan sejumlah
kendala yang udah di tulis sebelumnya, cuma ada 2 alasannya. Alasan pertama
karena mahasiswa itu sabar tingkat dewa, alasan lainnya karena mahasiswa itu ga
perduli dengan TA-nya. Ini bisa di survey langsung deh.
Setelah niat ngerjain Tugas Akhir
udah ada, usaha udah maksimal, doa udah gencar. Selebihnya, biarkan Allah yang
menunjukkan kekuasaan. Seperti yang sudah aku katakan, hasil tidak akan
mengkhianati proses. Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan
umat-Nya. Lewati segala sakit ngerjain TA dalam ikhlas. Ini hanya duniawi, tak
kamu bawa sampai mati.
Lalu, “mau lanjut S2 kemana? Atau mau langsung kerja?”
Hah, aku sih percaya ya, hidup
manusia itu udah ada yang ngatur. Hanya
Allah yang tahu kemana air mengalir, kemana takdir menentukan akhir. Mau kata apa juga, sabar aja deh dulu dan
lihat bagaimana Allah menuntun tapak melangkah dan mengijabahkan doa diwaktu
yang tepat. Yah, di doakan sajalah, semoga apapun yang Allah takdirkan, S2-kah, kerja-kah, ataupun menikah-kah,
semoga adalah sebaik-baiknya masa depan. Sebaiknya langkah dalam mengisi hidup
agar menjadi lebih bermakna dan tidak sia-sia belaka.
Mari kita aminkan,
Semoga yang belum sarjana, bisa cepat nyusul jadi sarjana.
Semoga yang lagi berusaha dapat kerja, bisa cepat di-pekerja-kan atau
membuka lapangan pekerjaan dan mendapatkan rizki yang halal.
Semoga yang lagi menunggu jodoh, dipertemukan dengan jodohnya di waktu
yang tepat dengan sosok yang tepat pula.
Semoga yang belum bahagia, dibuka hatinya agar lebih bersyukur.
Bismillah, Luruskan niat. tidak
akan ada usaha yang sia-sia.
Sunday, 8 May 2016
Beranjak
Ketika waktu mulai beranjak dan
kaki kian menapak, kita semakin mengerti bahwa hidup bukan hanya tentang hari
ini, tapi mungkin akan jauh kedepan, selama nafas masih diberikan. Kita mulai
membuat perencanaan yang lebih manusiawi. Tak lagi bermimpi memiliki pintu kemana saja. Tak berharap bisa
mengambil bintang untuk menempelnya pada langit-langit kamar. Tak lagi bermimpi
memiliki taman yang penuh ice cream, coklat dan mainan. Kita tak lagi meminta
yang tak masuk akal. Yang diharapkan hanya semua bisa berjalan sewajarnya dan
mampu mengatasi masalah dengan kelapangan hati dan ketenangan fikiran.
Tahun-tahun silam adalah saat dimana
aku enggan beranjak dewasa. Saat dimana mimpi yang kubuat hanya sebatas hari ini.
Dimana dunia dongeng begitu kuanggap nyata dalam duniaku. Hingga ketika aku
sadar betapa kejamnya kehidupan nyata yang sedang menunggu. Pun begitu, aku berusaha
untuk mencari tahu, berusaha menggapai, mendengar, dan menyentuh kehidupan yang
terlihat kejam itu. aku ingin merasakan. Aku cukup kuat untuk menyeka air mata dan
hanya menahannya untukku. Aku bukan lagi anak-anak yang tanpa beban, aku
mengerti arti tanggung jawab dan segala kewajiban.
Dalam perjalanannya, aku sering melawan
diriku sendiri yang menciptakan ragu.
Aku menatap sisi lainku dalam cermin.
Aku terlihat lugu mencari tahu. Di pundak,
kupikul sederatan kisah masa lalu. Aku
melihat ke-aku-anku dalam diriku, tertutup asa yang dihalangi pesimis. Selayaknya
lapisan kaca yang rapuh. Bagaimana harusku menopang? ketika angin menyapa, aku mudah jatuh. Menjadilah kuat dan
mendewasalah. Aku yakin aku mampu. Melebihi
angin, kita bisa menghalau badai, jika perlu kita hilangkan segala
ketidakmungkinan itu. Gagal hanya masalah waktu. Sedangkan waktu akan beranjak.
Dan di waktu yang akan datang, sakit yang kita rasa hari ini hanyalah “masa lalu”.
Tuesday, 26 April 2016
Hey, Judges [!]
Kesalahan orang-orang pada umumnya adalah kebiasaan men-judge
sesuatu atas apa yang mungkin baru dilihatnya sekilas, sekali. Kita tidak bisa
menghakimi orang yang tidak sengaja kita temui sedang mengutip uang di jalan.
Kita tidak bisa menyimpulkan orang miskin hanya karena kita melihatnya
menghitung uang receh. Kita tidak bisa menuduh hanya karena kita mendengarnya
sekilas dari mulut orang. Hidup terlalu rumit untuk hanya dipahami dalam sekilas,
sekali. Beberapa orang menyederhanakan sesuatu yang kompleks tanpa mencoba
untuk menelaah. Hanya karena ingin semua masalah selesai dalam waktu singkat,
kita membuat semua hal mudah bagi kita, menyimpulkan banyak hal sesuka hati,
tanpa perduli apa dampaknya bagi pihak lain.
Allah Maha Tahu, manusia tidak. Allah tidak diam karena Dia
tahu maksud dari tiap-tiap hati. Bukan kuasa manusia untuk membuka hati
seseorang dan mengerti maunya. Kita mungkin tidak memahami niat baik di balik
tindakan yang dinilai buruk. Kita kadang
tidak memahami maksud suci di balik kata-kata yang menyakiti. Baik itu tidak
selalu datang dari hal yang dinilai baik. “Baik” dan “Buruk” hanyalah manusia
yang memberi ukuran, yang dia tentukan atas apa yang hanya ia ketahui. Tapi
manusia tidak maha mengetahui. Maksud dari tiap-tiap hati, hanya kepada Allah
pertanggung jawabannya. Kita tidak punya kuasa mengatur pemikiran orang-orang
untuk memaksanya mengerti apa-apa yang kita ingini.
Hey, Judges. Menghakimi, menyimpulkan, menuduh, bukan
perkara sederhana. Itu bisa berdampak panjang, sejauh kita tidak bisa
membayangkan.
Some people say, ‘Do
not judge the book by its cover!’ Well, I say not to judge at all.
Wednesday, 9 March 2016
Titik Arah
Aku sedang berusaha. Berusaha untuk menutup mata dengan segala romantika masa remaja. Tutup telinga dengan segala modus dari pangeran-pengeran kuda dadakan. Biarlah menjadi berbeda, jika sama adalah salah jalannya. Maksudku, aku hanya sedang berusaha menjadi yang seharusnya, bukan yang kebanyakan adanya.
Jika aku katakan "sedang berusaha", kamu akan mengerti jika mungkin aku gagal nantinya untuk mempertahankan ini dalam waktu yang lama. Tapi, yah... setidaknya aku telah berusaha.
Bukan tak tahu diri. Karena sadar dengan kondisilah, kemudian aku menetapkan hal-hal seperti ini dalam hidup. Kadang aku juga memiliki ambisi, sama seperti yang lainnya. Ketika aku menemui seseorang yang hatiku merasa dia tepat , fikiranku hanya bisa berharap pada hal-hal yang seharusnya diharapkan,
Jika suatu saat ketika aku siap untuk mengikat hubungan dalam Ridha Allah Ta'ala namun belum ada yang meminang pada mama dan papa, jika di waktu itu pun kamu sudah mampu dan mapan serta merasa perlu mencari pendamping hidupmu, aku hanya berharap mungkin kamu akan mencari aku.
Harapan-harapan seperti itu akan membuat hatiku sadar diri. Tak berharap lebih pada apa yang tak bisa aku tentukan akhirnya.
Ketika waktu berlalu, aku yakin hal-hal seperti ini bisa menjadi perisai yang sangat berguna. Membangun dinding tebal yang melindungi dari rasa dikecewakan, dari sakit hati, dari segala yang sia-sia. Sekarang, selagi masih sendiri kita bisa mempertahankan segala hak pribadi, yang mungkin tak bisa kita lakukan ketika kita harus sibuk memikirkan pasangan, yang belum tentu menjadi jodoh kita.
Wahai diri, jika nantinya kamu yang membangkang dari apa yang kamu tulis saat ini, ingatlah bahwa Allah sudah menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan antara wanita dan laki-laki dengan sejelas-jelasnya. Tak bisakan kembali memepertimbangkannya?Bersabarlah, sehingga semua akan datang pada waktu yang tepat dan tidak akan ada penyesalan di akhirnya.
Sunday, 14 February 2016
True Happiness
Aku pernah membaca sebuah tulisan yang berisi percakapan
seorang anak dan ibu. Kurang lebih potongan percakapannya mungkin seperti ini,
sang
anak bertanya kepada ibunya,
“Ibu, temanku di sekolah bercerita bahwa Ibunya sangat
baik. Jika mereka tidak memiliki cukup makanan, Ibunya akan membiarkan temanku
yang makan dan ibunya tidak. Apakah Ibu akan bertindak hal yang sama padaku?”.
Sang Ibu lalu menjawab,
“Tidak. Jika kita kekurangan makanan, Ibu dan Ayah akan
bekerja lebih keras lagi sehingga kita punya cukup uang membeli makanan untuk
kita makan. Kamu pun tak perlu menelan makanan dengan sakit saat melihat ibu
kelaparan.”
Dalam satu waktu, setelah membaca hal itu, aku terenyuh dan
akhirnya mengerti konsep bahagia secara sederhana.
Kita harus menjadi
bahagia terlebih dahulu agar bisa membahagiakan orang-orang seutuhnya.
Aku meyakini hal itu 95 %. 5% nya aku serahkan pada keadaan
yang kadang tidak bisa membiarkan beberapa hal berjalan sebagaimana mestinya, sesuatu yang mereka sebut sebagai kehendak “takdir”. Tapi, toh, takdir pun kita bisa
menentukannya.
Kebanyakan dari kita menganggap bahwa tak masalah diri sendiri
menderita di saat kita mampu membahagiakan orang lain. Kita lupa, bahwa kita
selalu punya pilihan untuk sama-sama bahagia, walaupun dengan sedikit usaha yang
lebih. Sederhananya, kita harus cukup kuat untuk bisa menguatkan orang-orang. Dan
kekuatan kita peroleh melalui kebahagiaan, berupa ketenangan hati dan fikiran.
Kita lihat bagaimana perjuangan Ibu. Ibu harus membuat
dirinya bahagia mendapat nikmat sehat, hal ini agar bisa menjaga dan memastikan
anak dan suaminya sehat juga. Bayangkan jika Ibu sakit, maka rumah akan berada
diluar kendali. Sarapan yang terlambat, mainan yang berserak, dan kekacauan
lainnya bisa saja terjadi. Hal ini akan
menyebabkam tekanan bagi seluruh anggota keluarga. Ketika Ibu sehat, mungkin
hal-hal seperti ini menjadi tidak kita permasalahkan. Maka dari itu, Ibu harus
bahagia agar seluruh keluarga bahagia.
Dulu aku pernah bertanya-tanya apakah bahagia itu? Pesta? Kado?
Saling Bercanda? Mencintai? Dicintai? Ah, semua terlihat terlalu klise. Bahkan proses
mencintai-dicintai tak selalu membahagiakan.Hingga akhirnya aku mengerti, bahwa
bahagia adalah keadaan dimana kita merasa tidak lagi menderita. Disaat kita
tetap dengan tenang menghadapi semua masalah dan mensyukuri setiap yang telah
diberi. Mungkin sesederhana itu.
Terlepas dari semua itu…
Ma, Pa, apakah kalian sendiri sudah cukup bahagia sebelum berusaha membahagiakan keempat anak dengan penuh cinta?
Thursday, 11 February 2016
Ego
![Ego Ego](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhiqk8AP5qwfqSmWEBTiYnxbMIFuvQjeXGGLKyRboyf8Ufn7-3QRDZyVk0M8D8FnUwfTBczyulPlSAQeqPfVwp_7vLmD74qffzCtFlPtTOzxYYYJ2wAcBf1jXEUhBej0wmJ1J0MSE_heBHC/s200/ego.jpg)
Kita sering lupa, bahwa penderitaan yang dirasakan oleh orang
yang kita abaikan, suatu saat mungkin akan menjadi penderitaan kita.
Aku percaya pada kata-kata seorang, “Kita harus merasakan sakit terlebih dahulu agar bisa mengerti sakit
yang diderita orang lain”. Ini mungkin adalah cara pengobatan yang paling
mutakhir. Jadi, apakah aku harus berdoa bahwa penderitaan perlu datang untuk
membuat orang-orang bijaksana? Terdengar tidak masuk akal.
Kadang, dengan alasan untuk tak ingin masuk dalam ranah
pribadi kehidupan orang, kita memilih diam. Kadang, dengan alasan untuk memenuhi
hasrat penasaran, kita begitu menggebu untuk mencari tahu segala hal. Kedua hal
tersebut cukup menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk yang egois, bukan?
Saat kamu tahu orang-orang sedang menderita, maka pekalah,
sekalipun jika itu hanya berpura-pura. Perdulilah, sekalipun jika itu hanya
modus semata. Setidaknya, seseorang bisa berbagi walau sedikit dan mengurangi
rasa sakit. Buatlah alasan, sekalipun itu kadang tak masuk akal, tapi kamu
akhirnya cukup memiliki dorongan untuk membantu. Aku mengerti dengan alibi hidup terlalu penuh sandiwara. Maka
bersandiwaralah jika itu kemudian membawa kebahagian kepada orang yang lainnya.
Seandainya, jikapun orang-orang tersebut larut dan hanyut, kita tak akan merasa
bersalah pada diri sendiri, karena pernah berusaha membantunya dengan memberikan
pelampung dan mengulurkan tangan.
Jika sebegitu sulitnya menghilangkan sifat keegoisan pada sesama
manusia, maka cukup dengan tidak egois agar tidak akan membuat diri sendiri menyesal nantinya. Kita tidak akan bisa egois pada diri sendiri, kan?
Friday, 29 January 2016
Alur
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBvywX5CSDVOH1adLwpYZjmxPIopNem8YDL1C_9d6MFRr8X9BhRBKmmwfkKIrMO_A0aP2K28YI2CRYQ-R3cGL3Q49zRlhvaSAxbuPMTyA0FkzT3XNySMxXH5il4SG_seqKMNG5QGfYDnLz/s320/life.png)
Satu waktu kita akan tertawa, dilain waktu kita akan menangis. Tapi, kau kan tau, bahwa ini hanya masalah proses. Proses
hanya perlu dilalui dan pasti akan menemukan akhirnya. Tak perduli seberapa
menderita atau seberapa bahagianya itu, kita akan melewatinya, pasti. Menemukan
kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Dilahirkan dalam keluarga kaya atau miskin, bukan sesuatu
yang bisa kamu tentukan sesuai dengan keinginanmu. Tapi kita bisa menentukan
bagaimana caranya mensyukuri apapun yang telah ditakdirkan untukmu. Keluarga
yang bahagia, senantiasa bersama, saling mendukung dan mencinta, saling
memahami dan memaafkan, itu hanyalah hadiah. Hadiah yang patut disyukuri. Tapi
jikalaupun ada kondisi dimana kita merasa tertekan, merasa
dibanding-bandingkan, merasa tak
diperdulikan, itulah yang sebenarnya membuat kita memahami, bagaimana bisa
manusia dengan jalan fikir yang berbeda-beda bisa saling mencintai dan saling
bertanggung jawab untuk memproteksi. Tak perduli bagaimana tebalnya dinding
pertahanan hatimu, dari sinilah, dari keluargamu, yang perlahan membangunkan dinding-dinding
itu untuk mu. Pertahanan yang tak tampak, yang selalu menyediakan ruang hangat
untuk rehat sejenak, dan selalu menerimamu
sekalipun kamu tak mampu memberikan apapun sebagai balasannya.
Hidup terus berkembang. Kita tumbuh menjadi remaja
dan beranjak dewasa. Orang-orang datang lebih banyak dalam hidupmu, ada yang
sekedar menyapa, beberapa mungkin akan singgah dan meneguk teh hangat pada
sepenggal waktumu, dan sebagian kecil lainnya akan menghabiskan senja denganmu
dalam kehangatan yang menenangkan tak perduli betapa penatnya kita telah
bekerja. Ada orang-orang seperti itu yang kamu temui semasa hidupmu. Kamu mulai
mengkategorikan hubungan-hubungan berdasarkan seberapa dekatnya itu. Kita menikmati waktu berlalu.
Kapanpun kita dapat mengucapkan selamat datang, kapanpun
juga kita dapat mengucapkan selamat tinggal. Datang dan pergi bagaikan 2 sisi
mata uang yang saling berkaitan. Dan kita, hanya perlu melalui. Kita percaya
ini yang disebut proses. Rasa sakit mungkin akan disemaikan secara diam-diam,
hingga ketika kamu menyadari seolah mereka tak memberikanmu ruang untuk
bernapas walau hanya sekejap. Kita hanya bisa tenang, dan lagi-lagi melaluinya,
tak perduli seberapa sakit, kita yakin ini akan berlalu. Bersahabat dengan rasa
sakit, dengan tak berniat menyimpan dendam sekecil apapun, bahkan jika itu
seperti daki yang menempel pada dinding hatimu. Sehingga ketika rasa sakit itu
benar-benar sembuh, bahkan kita tidak akan menyadarinya. Dan semua, ada
waktunya.
Kita melihat hal-hal baru setiap hari sehingga merangsang
imajinasi untuk menciptakan mimpi-mimpi. Kita mulai berusaha mewujudkan
mimpi-mimpi itu. Satu mimpi terwujud, kita mulai membuat mimpi baru yang lebih
besar. Yah, begitulah cara kita hidup dan bertahan. Tak perduli bagaimana besar
mimpi itu, selalu ada keyakinan untuk bisa mencapainya, walau hanya sedikit,
tapi kita selalu berharap. Dan kita percaya pada keajaiban. Dengan keyakinan
itu, Allah memberikan jalan bahkan dari tempat-tempat yang tak pernah kita duga
untuk mencapainya. Maka, aku bermimpi pada banyak hal dan meyakini sepenuhnya
pada Allah, Ia akan memberikan yang terbaik ketika usaha-usaha telah aku
upayakan.
Hati, menjadilah lebih sabar.
Kaki, menjadilah lebih kuat. Kita masih akan melewati hari
esok yang penuh kejutan.
Berlalu Terlalu Lugu
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfAJdMLcNU-Wf5uMlljmXf1u-xUDgm4Ojxe7OBWlB7_eKr_BpFzzeIr0tbeVNOfFPLgDNUtXaUfPt6MfF2_xJdEkFWsxnKR4Bj5KAzhAOq4Wecrr_rLJ4WhjvwZx8T-sN81v1R355-1HKh/s200/ngampus.jpg)
Ketika aku setengah mati memforsir hati dan fikiranku, tetapi kesehatanku sudah lebih dahulu menyerah dan harus limbung dalam rutinitas tak terselesaikan.Butuh waktu, sesaat saja, memejamkan mata dalam ketenangan. Menarik nafas dalam tanpa problema yang terus menghujam. tanpa tugas kampus dan segudang laporan.
Aku hidup, bukan untuk menjadi pecundang. Hanya semuanya tetap punya batasan dan aku malah harus keluar dari kebiasaan, untuk berubah atau sekedar untuk beradaptasi dengan keadaan. Tak cukupkah pengorbanan itu?
Beri aku waktu, sekejap dalam pagelaran hidup yang memakan waktu panjang, untuk bisa bersandar dan untuk menoleh kanan-kiriku demi menyadarkan diriku bahwa sudah terlalu banyak hal terlewati dan aku tak lagi perduli.
Tuhan, beri aku kekuatan, setidaknya hingga aku berhasil menuntaskan tepat waktu segala yang menjadi kewajiban. Amin.
Friday, 1 January 2016
Menjadi yang Lain
Sempat satu kali aku diajukan dengan satu pertanyaan yang
sebenarnya sederhana,
“Jika ingin menjadi orang lain, andaikata kita bisa memilih
untuk menjalani hidup seperti orang lain. Kamu mau menjadi siapa?”
Berulang kali aku memutar otak untuk menemukan jawabannya. Aku
memang pernah beberapa kali terfikir untuk mencoba menjalani hidup seperti
seseorang yang lain, yang lebih keren
misalnya, yang lebih cerdas, yang lebih kaya, yang lebih menarik, yang kita lihat secara kasat mata bahwa hidup
mereka mungkin bisa jauh lebih menyenangkan dari hidup kita. Mungkin kalian
juga pernah memikirkan hal yang sama. Senang sekali membanding-bandingkan
kehidupan sendiri dengan kehidupan orang-orang dan selalu berakhir dengan
perasaan rendah diri karena merasa kurang disana dan disini.
Sejauh ini, yang aku dapat adalah tidak ada satupun
kehidupan seseorang yang sempurna. Hidup siapa yang selalu bahagia? Bahkan
artis terkenal sekaliber mancanegara mempunyai hidup penuh drama. Butuh usaha
untuk setiap pencapaiannya. Butuh pengorbanan untuk setiap kebahagiaan. Bahkan
kepuasaan butuh perencanaan yang sempurna yang hanya tercapai jika kita sudah
bersusah payah meraihnya.
Pernah aku membayangkan mungkin aku terlahir menjadi si “A”.
Lahir dari keluarga yang kaya raya, bertampang rupawan, tinggi semampai, ramah,
dan mandiri pula. Tapi belakang aku tahu bahwa ia merasa kesepian karena hanya menjadi
anak tunggal yang dibesarkan seorang ibu. Aku benci jika sepi. Mungkin jika aku menjadi dia aku akan depresi,
karena aku tak suka sendiri. Aku juga pernah terfikir bagaimana jika aku
menjadi si “B”, salah satu public figure yang bisa dikenal banyak orang. Dia
bisa membeli apapun dan kemanapun yang ia mau dengan penghasilannya. Tapi, aku
lupa bagaimana pedihnya perjuangan si “B” untuk bisa mendapatkan apa yang ia
genggam. Sedangkan aku berharap untuk bisa menjadi dirinya yang terkenal dan
kaya raya, tapi mungkin aku tak sanggup untuk latihan ini dan itu bahkan dengan
tidak tidur untuk tetap menjaga konsistensi, disamping aku harus tutup kuping
dengan segala pembicaraan miring dari para pengiri dan tak tahu diri. Jika aku
menjadi seperti dia… Mungkin aku tak
akan bisa bertahan lebih lama.
Setiap hidup manusia punya porsinya masing-masing. Aku
dengan porsi hidupku, dan kamu dengan porsi hidupmu. Jangan mencari
kesempurnaan, karena itu hanyalah kata pengganti “sesuatu yang tak akan pernah
bisa kamu mewujudkannya”. Jangan hanya ingin mendapatkan enaknya saja, tanpa
mau mengeluarkan jerih. Semuanya membutuhkan bayaran. Bahkan Allah memberikan
oksigen dengan harapan kita tahu diri dan tak lupa untuk selalu mengingat-Nya,
hanya kitalah yang kadang durhaka. Jika sudah begitu, jangan harapkan lagi
bahagia dan ketenangan jiwa. Ingat, bahwa semua itu ada maknanya. Tidak ada
yang sia-sia.
Jadi, setelah mempertimbangkan banyak hal. Sekalipun bisa
untuk menjadi orang lain, seandainya pun kita bisa memilih terlahir sebagai
siapa, aku akan tetap memilih menjadi
diri sendiri, yang sekarang aku jalani. Aku memang pernah jatuh dan
meninggalkan bekas luka tak sembuh dari masa lalu, tapi orang mana yang selama
21 tahun hidupnya tak pernah melakukan kesalahan. Manusia lahir dengan kekurangan,
kita bukan Malaikat yang tidak memiliki nafsu. Tapi setelah kesalahan dan
kegagalan itulah, kita seharusnya belajar. Bukan malah menghidarinya dengan
mengandai-andaikan sesuatu yang tak perlu.
Subscribe to:
Posts (Atom)