Selalu ada saja alasan untuk menulis.
Gambaran bahagia, setia, canda bahkan sesuatu yang menguras air mata
semua hanya mengalir begitu saja jika aku tuangkan dalam sebuah
tulisan. Begitu caraku menulis. Lalu aku akan merasa cukup tenang
setelahnya. Walau beberapa tulisan akan segera aku hapus usai aku
menemukan titiknya. Hanya karena alasan sederhana, tak semua yang
kita pendam ternyata cukup baik diceritakan bahkan dari sebuah media
tulisan sekalipun.
Satu yang perlu kalian ketahui, bahwa
tulisan itu hanya gambaran. Tak semuanya begitu nyata. Di dalam
tulisan kita hanya seperti memainkan peran. Dari sudut pandang yang
berbeda kita menelaahnya, maka akan beda yang kita dapat dari
bacaannya. Terserah bagaimana orang akan menilainya.
Beberapa orang sempat menanyakan
bagaimana aku menulis. Setiap mendengar pertanyaan yang sama, aku
kembali tersenyum. Senyum yang sama ketika aku tanyakan kepada mereka
bagaimana bisa mereka menyukai matematika, menyukai membuat code
program seharian tanpa alih perhatian. Setiap orang yang ditanyai
mempunyai jawabannya, tapi pada akhirnya, yang bertanya juga hanya
akan berekspektasi sendiri, sesuai jawaban apa yang mereka inginkan
dalam fikirannya.
Aku tidak bisa menulis. Aku
menegaskannya kembali, aku tidak bisa. Aku bahkan tidak pernah
mengikuti lomba menulis bebas dan tidak memenangkan medali apapun.
Aku hanya senang bercerita pada tulisan. Hanya itu saja. Jawaban ku
intinya adalah sama dengan orang-orang yang aku tanyai tadi.
Si pintar matematika akan menjawab,
“aku tidak begitu suka matematika tapi hanya mengerjakannya saja,
aku merasa tertantang jika berhasil.”
Lalu si tukang coding yang begitu betah
berlama-lama di depan laptopnya akan berkata, ”aku hanya
melakukannya, dari pada duduk tak jelas tujuannya. Jika bisa
mengatasi setiap error dan berhasil menjalankan programnya, aku cukup
bahagia dan puas dengan itu.”
Menulis, menghitung jabaran matematika,
dan menyelasaikan program adalah sama. Sama-sama susahnya. Namun
kebanyakan mereka tetap melakukannya, hanya karena mereka senang.
Tidak perlu menjadi begitu pintar, hanya perlu kemauan. Namun begitu,
tahukah apa yang aku fikirkan? Walaupun aku tahu semua akan bisa jika
aku mau untuk mempelajari, toh aku terus menanamkan dalam fikiran
untuk tetap membenci matematika, jengah duluan ketika mendapatkan
tugas pemrogramanku error di beberapa bagian. Kan, aku kembali pada pemikiran awalku.
Kita sama. Sama-sama terlalu
melebih-lebihkan. Namun, secara kodratnya, manusia memiliki
bagian-bagian yang Allah rendahkan kualitasnya di beberapa aspek dan
meninggikan kualitas di aspek lainnya. Meskipun hingga sekarang, aku
masih belum yakin bagian apa yang patut aku tinggikan dari
kemampuanku. Tapi, toh hingga kini aku tetap bersyukur. Masih akan
terus bersyukur.
Allah itu maha adil. Aku percaya itu.
Jika manusia bisa melakukan segala halnya sendiri, maka kita akan
tumbuh begitu egois, begitu sombong dan tak tahu diri. Dilahirkan
dalam banyak kekurangan pun, manusia masih memiliki celah untuk
membusungkan dada dan meninggikan intonasi suara. Kita tidak mempunyai
segala kemampuan yang mumpuni, sekalipun kita terlahir dengan IQ yang
cukup tinggi. Kita, diberikan kekurangan dibeberapa bagian agar bisa
saling menolong dalam segala hal. Karena hanya dengan demikian manusia bisa
menjadi selayaknya manusia.
0 komentar:
Post a Comment