Tuesday, 14 October 2014

Karena Hanya

Selalu ada saja alasan untuk menulis. Gambaran bahagia, setia, canda bahkan sesuatu yang menguras air mata semua hanya mengalir begitu saja jika aku tuangkan dalam sebuah tulisan. Begitu caraku menulis. Lalu aku akan merasa cukup tenang setelahnya. Walau beberapa tulisan akan segera aku hapus usai aku menemukan titiknya. Hanya karena alasan sederhana, tak semua yang kita pendam ternyata cukup baik diceritakan bahkan dari sebuah media tulisan sekalipun.


Satu yang perlu kalian ketahui, bahwa tulisan itu hanya gambaran. Tak semuanya begitu nyata. Di dalam tulisan kita hanya seperti memainkan peran. Dari sudut pandang yang berbeda kita menelaahnya, maka akan beda yang kita dapat dari bacaannya. Terserah bagaimana orang akan menilainya.

Beberapa orang sempat menanyakan bagaimana aku menulis. Setiap mendengar pertanyaan yang sama, aku kembali tersenyum. Senyum yang sama ketika aku tanyakan kepada mereka bagaimana bisa mereka menyukai matematika, menyukai membuat code program seharian tanpa alih perhatian. Setiap orang yang ditanyai mempunyai jawabannya, tapi pada akhirnya, yang bertanya juga hanya akan berekspektasi sendiri, sesuai jawaban apa yang mereka inginkan dalam fikirannya.

Aku tidak bisa menulis. Aku menegaskannya kembali, aku tidak bisa. Aku bahkan tidak pernah mengikuti lomba menulis bebas dan tidak memenangkan medali apapun. Aku hanya senang bercerita pada tulisan. Hanya itu saja. Jawaban ku intinya adalah sama dengan orang-orang yang aku tanyai tadi.

Si pintar matematika akan menjawab, “aku tidak begitu suka matematika tapi hanya mengerjakannya saja, aku merasa tertantang jika berhasil.”

Lalu si tukang coding yang begitu betah berlama-lama di depan laptopnya akan berkata, ”aku hanya melakukannya, dari pada duduk tak jelas tujuannya. Jika bisa mengatasi setiap error dan berhasil menjalankan programnya, aku cukup bahagia dan puas dengan itu.”

Menulis, menghitung jabaran matematika, dan menyelasaikan program adalah sama. Sama-sama susahnya. Namun kebanyakan mereka tetap melakukannya, hanya karena mereka senang. Tidak perlu menjadi begitu pintar, hanya perlu kemauan. Namun begitu, tahukah apa yang aku fikirkan? Walaupun aku tahu semua akan bisa jika aku mau untuk mempelajari, toh aku terus menanamkan dalam fikiran untuk tetap membenci matematika, jengah duluan ketika mendapatkan tugas pemrogramanku error di beberapa bagian. Kan, aku kembali pada pemikiran awalku.

Kita sama. Sama-sama terlalu melebih-lebihkan. Namun, secara kodratnya, manusia memiliki bagian-bagian yang Allah rendahkan kualitasnya di beberapa aspek dan meninggikan kualitas di aspek lainnya. Meskipun hingga sekarang, aku masih belum yakin bagian apa yang patut aku tinggikan dari kemampuanku. Tapi, toh hingga kini aku tetap bersyukur. Masih akan terus bersyukur.

Allah itu maha adil. Aku percaya itu. Jika manusia bisa melakukan segala halnya sendiri, maka kita akan tumbuh begitu egois, begitu sombong dan tak tahu diri. Dilahirkan dalam banyak kekurangan pun, manusia masih memiliki celah untuk membusungkan dada dan meninggikan intonasi suara. Kita tidak mempunyai segala kemampuan yang mumpuni, sekalipun kita terlahir dengan IQ yang cukup tinggi. Kita, diberikan kekurangan dibeberapa bagian agar bisa saling menolong dalam segala hal. Karena hanya dengan demikian manusia bisa menjadi selayaknya manusia.


0 komentar:

Post a Comment