Para jalang yang nyata adalah si tikus
berdasi yang memilih naik dengan jabatan tinggi hanya untuk mengisi
perutnya sendiri. Dia mungkin kurang disayang Tuhan, maka ia mencari
kebahagian duniawi yang tak bisa membuatnya tentram. Ia mungkin tahu
akan masuk neraka, maka ia mencari surganya dunia. Atau lebih parah lagi, jangan-jangan mereka telah memesan tiket khusus ke neraka.
Belakang manusia banyak yang pura-pura
lugu tapi belagu. Bodoh setengah-setengah. Eh, ujungnya malah menipu
dan nampak lebih bodoh. Mbok ya, ngumbar ini – itu ke media
mestinya direncanakan dulu. Lah wong Apa yang dia bicarakan saja ga
bisa diatur, malah dengan sombongnya dulu mencalonkan diri untuk
mengatur banyak orang. Piye toh.
Kita ini negara Indonesia, negaranya
rakyat. Situkan cuma penyelenggara. Kalian itu pelayan, kami ini
rajanya. Sekarang kok di kasih hati minta jantung. Sudah digaji
besar, malah sang raja yang di bodoh-bodohi. Situ punya kuasa, kami
punya suara.
Zaman sekarang, eh, palu hakim pun jadi
dibeli. Yah, hakim juga manusia. *Alibi. Toh si hakim juga mungkin
ngebeli posisi hakim itu. Pantaslah jika demikian adanya.
Bagian mana dari Indonesia ini yang
punya hati nurani dan memperjuangkan hakikat kemanusiaan dengan nyata
dan tak takut mati?
Eh, jangan mau mati karena mendapatkan
asuransi kematian dengan jumlah yang tinggi. Haduh. Kan jadi salah
kaprah lagi.
Indonesia ini sudah salah sistem dari
akarnya. Sistem pendidikan yang awut-awutan. Gonta-ganti standar
kompetensi karena dianggap standarnya kurang tinggi. Nah lo, lebih
mentingin standar apa lebih mentingin wawasan anak bangsa sebenarnya?
Mau membimbing menjadi lebih baik kok caranya dengan memberikan
banyak tekanan. Sisi psikologis anak bangsa mengalami kemunduran.
Mentalnya rusak dan tak bisa teguh pendirian. Anak bangsa harusnya
layak mendapat kenyaman dan hak untuk mendapatkan cinta dan kasih
sayang dari ibu pertiwi.
Kita ini bagian dari Indonesia.
Indonesia, negara yang kita diami ini sekarang tengah diguncang
prahara yang tak pernah tuntas dari tahun-tahun silam. Kita, harusnya
berbangga dengan demokratisnya negara kita, tapi kok makin kesini
makin menyedihkan adanya. Bagaimana kami bisa melanjutkan
kepemimpinan yang ditinggal begitu menyedihkan seperti ini?
0 komentar:
Post a Comment