Monday, 6 October 2014

Indonesia Kita


Para jalang yang nyata adalah si tikus berdasi yang memilih naik dengan jabatan tinggi hanya untuk mengisi perutnya sendiri. Dia mungkin kurang disayang Tuhan, maka ia mencari kebahagian duniawi yang tak bisa membuatnya tentram. Ia mungkin tahu akan masuk neraka, maka ia mencari surganya dunia. Atau lebih parah lagi, jangan-jangan mereka telah memesan tiket khusus ke neraka.


Belakang manusia banyak yang pura-pura lugu tapi belagu. Bodoh setengah-setengah. Eh, ujungnya malah menipu dan nampak lebih bodoh. Mbok ya, ngumbar ini – itu ke media mestinya direncanakan dulu. Lah wong Apa yang dia bicarakan saja ga bisa diatur, malah dengan sombongnya dulu mencalonkan diri untuk mengatur banyak orang. Piye toh.

Kita ini negara Indonesia, negaranya rakyat. Situkan cuma penyelenggara. Kalian itu pelayan, kami ini rajanya. Sekarang kok di kasih hati minta jantung. Sudah digaji besar, malah sang raja yang di bodoh-bodohi. Situ punya kuasa, kami punya suara.

Zaman sekarang, eh, palu hakim pun jadi dibeli. Yah, hakim juga manusia. *Alibi. Toh si hakim juga mungkin ngebeli posisi hakim itu. Pantaslah jika demikian adanya.

Bagian mana dari Indonesia ini yang punya hati nurani dan memperjuangkan hakikat kemanusiaan dengan nyata dan tak takut mati?
Eh, jangan mau mati karena mendapatkan asuransi kematian dengan jumlah yang tinggi. Haduh. Kan jadi salah kaprah lagi.

Indonesia ini sudah salah sistem dari akarnya. Sistem pendidikan yang awut-awutan. Gonta-ganti standar kompetensi karena dianggap standarnya kurang tinggi. Nah lo, lebih mentingin standar apa lebih mentingin wawasan anak bangsa sebenarnya? Mau membimbing menjadi lebih baik kok caranya dengan memberikan banyak tekanan. Sisi psikologis anak bangsa mengalami kemunduran. Mentalnya rusak dan tak bisa teguh pendirian. Anak bangsa harusnya layak mendapat kenyaman dan hak untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang dari ibu pertiwi.

Kita ini bagian dari Indonesia. Indonesia, negara yang kita diami ini sekarang tengah diguncang prahara yang tak pernah tuntas dari tahun-tahun silam. Kita, harusnya berbangga dengan demokratisnya negara kita, tapi kok makin kesini makin menyedihkan adanya. Bagaimana kami bisa melanjutkan kepemimpinan yang ditinggal begitu menyedihkan seperti ini?


0 komentar:

Post a Comment