Aku tak begitu paham dengan sistem politik di
negaraku. Aku tak tahu makanan jenis apa ”reshuffle” yang sekarang marak
dibicarakan oleh pejabat tinggi. Aku hanya seorang pelajar yang hanya tau bahwa
negaraku Indonesia, simbolnya burung garuda, benderanya merah putih, dan
didasari oleh pancasila. Aku mendapat pelajaran itu sejak aku duduk di sekolah
dasar. Guru PPKN yang mengajarkan kepadaku. Beliau mengatakan, ”Kita harus bela negara!”.
Aku tak tahu maksud perkataan guruku secara
tepat saat itu. Apakah sebenarnya negara kita bersalah pada negara lain? Atau
negara lain telah mencari masalah dengan negara kita? Mengapa kita harus
membelanya? Setelah kita membela negara, apakah negara juga akan membela
kita? Apakah negara akan memberi makan
kepada kita? Aku rasa tidak, orang tuaku bekerja banting tulang sebagai buruh
tani untuk memenuhi kebutuhanku, pemerintah tidak memberinya uang. Pemerintah
malah memberi izin orang-orang luar yang kulitnya berbeda dengan kami untuk
memenuhi pemasaran di tempat kami sendiri.
Pemerintah tidak memberi kemudahan bagi kami. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin
kaya. Apakah ini takdir? Aku rasa tidak! Beberapa oknum yang mengaku dirinya
cerdas, mengobok-obok kehidupan kami. Dia berwujud pejabat tinggi yang tak
cukup hidup dengan penghasilannya sendiri, malah mengharapkan bagian kami, para
orang-orang kecil ini.
Sejak aku SMP, aku mengetahui bahwa negaraku itu demokrasi. Yang aku tau,
demokrasi itu artinya kebebasan. Apakah mengambil uang negara dengan bebas
untuk kepentingan pribadi juga di sebut demokrasi kah? Inikah yang di harapkan
”kebebasan” bagi negara ini?
Kata orang tuaku yang merupakan petani, aku harus sekolah yang tinggi. agar
bisa mengubah kehidupan kami nanti. Tapi, bagaimana bisa aku bersekolah?
sedangkan pemerintah tak mau membiayai kami, dan kami tak punya cukup biaya
bahkan untuk makan sehari-hari.
Aku membaca satu lembaran muka koran di sebuah warung kopi kecil dekat
rumahku saat mengantar kue yang ibu titipkan, sekilas aku tahu bahwa negara
mempersiapkan dana dalam jumlah tertentu untuk masalah pendidikan. Aku yang
masih polos malah dengan bodoh menanyakan hal ini pada ayahku yang seorang
petani,
”Kemana saja uang yang disediakan pemerintah untuk kami para pelajar ini?”
Ayahku yang tak kalah kolot malah mengatakan,
”Tak usah kau atur negara ini, aturlah dirimu sendiri! Mereka tak akan
memperdulikanmu.”
Lalu ia berlalu begitu saja mengambil alat untuk mengasah satu-satunya
sabit miliknya.
Aku mulai benci dengan negaraku sendiri, aku benci pada aturannya yang
hanya dibuat demi keuntungan kalangannya sendiri. Tak ada yang memikirkan kami,
para keluarga petani.
Aku melihat remaja-remaja seumurku menertawai negaranya sendiri di dalam
negaranya ini, karena para pejabat tinggi negara ditemukan dalam sebuah situs
internet berbugil ria dengan wanita. Para pemerintahan malah tak lagi punya
cukup stok akhlak terpuji, bahkan untuk sekedar menjaga harkat martabatnya
sebagai pemimpin kami. Tak malu untuk mengumbar janji, dan lari membawa uang berguni-guni
sebelum memenuhi janji.
Kenapa semua dari mereka mempermainkan kami orang yang bodoh ini? Bukankan
sebagai pemimpin harusnya mereka memberi kesejahteraan bagi kami? Atau mereka
menggunakan penderitaan kami hanya untuk mendapatkan kesejahteraannya pribadi?
Yang bodoh tetap menjadi bodoh, yang pandai semakin menjadi-jadi. Mereka
menggunakan kecerdasan mereka untuk mengacuhkan yang lain lalu meraup
keuntungan dari itu. Sebagian dari mereka malah jelas-jelas bekerja sama untuk
menghancurkan kami.
Aku hanya pelajar. Bisa apa aku? Berulang kali aku memaki negaraku sendiri,
tak ada yang perduli. Syukur, aku tak dianggap gila oleh orang-orang didekatku.
Aku bisa gila karena negaraku. Lantas, untuk apa aku lalu membelanya?
0 komentar:
Post a Comment