-- CERPEN --
Sejak beberapa waktu yang lalu,
hujan senang datang tiba-tiba. Tak ada angin ataupun mendung, bahkan saat
matahari sedang terik sekalipun, kadang hujan turun uapkan hawa panas jalanan
aspal penuh debu. Aku tak tahu sejak kapan, tapi cuaca sudah tak lagi menentu.
Sekedar untuk berteduh, aku duduk
santai disudut café. Ditemani coklat panas, kentang goreng yang baru saja
diangkat dari penggorengan, dan seorang teman lelaki, Bas, yang mungkin saja
adalah calon suamiku. Siapa tahu. Bukan, dia bukan pacarku. Mungkin kami
bersahabat. Tapi, ntahlah, kami tak pernah benar-benar menyepakati hubungan
seperti apa ini. Dan aku adalah orang yang tak percaya seorang lelaki dan
perempuan bisa menjadi sahabat. Yah, kau tahu, manusia selalu punya naluri
untuk ingin memiliki.
Aku sibuk memperhatikan kendaraan
berlalu lalang, memercikkan air dari genangan di sisi jalan. Sedari tadi, aku
tak lihat ada orang yang berjalan kaki. Kini semua terasa berbeda. Dulu, aku
sering melihat ibu-ibu atau anak-anak berjalan dibawah hujan dengan membawa
payung warna-warni. Itu selalu menarik perhatianku, dulu. Aku senang saat hujan
turun karena saat itu aku bisa menggunakan payung boneka hadiah dari mama.
Sekarang, aku tak mengerti apakah itu gengsi ataukah memang kebutuhan telah
berubah, tak banyak lagi yang memilih berjalan kaki.
Perhatianku teralih saat Bas membolak
balik beberapa sisi Koran, melihatnya sekilas, kemudian melipatnya rapi. Aku
menyeruput cokelat panas pesananku. Uapnya masih menggumpal, lidahku kelu.
“Aku telah membaca semua tulisan diblogmu. Kenapa kamu
senang menulis?”, Bas membuka percakapan. Ntah mengapa selalu percakapan yang
ambigu.
Aku tersenyum sesaat. Mengalihkan pandangan pada dua pelayan
di meja kasir yang seperti sedang membicarakan kami. Aku tak akan perduli
apapun yang mereka fikirkan tentang kami.
“Aku suka menulis, mungkin karena…,” aku masih belum
menemukan jawabannya. Aku mengedarkan padangan ke langit-langit café yang saat
itu sepi. Muka Bas dengan penasaran menunggu jawabanku.
“Mungkin karena kamu senang membaca, jadi memotivasiku untuk
menulis” Lanjutku. Aku tersenyum menggodanya. Bas seperti tersipu dan tertawa
ringan. Bas membuang pandangan keluar jendela, matanya menghindari tatapanku.
Dia, selalu begitu.
“Aku, bukan tipe yang senang membaca. Kamu tahu itu. ” Jawabnya
kaku. Seakan ini pembicaraan yang begitu serius untuknya.
“Lantas, apa hanya membaca tulisanku?”, tanyaku penasaran.
“Iya, mungkin karena itu kamu, aku membacanya,” katanya. Aku
mencoba membaca ekspresinya. Bas tertawa lagi. Ini akan menjadi perbincangan
yang paling tidak penting dari yang sudah-sudah sepertinya.
“Kamu akan mengatakan betapa melankolisnya aku jika dilihat
dari tulisan-tulisan itu. Apa itu terlihat memalukan bagimu?” aku mencoba menggali
arah pembicaraan ini. Bas pasti akan membuliku lagi kali ini.
“Pada dasarnya, setiap orang
memiliki hal-hal memalukan yang ingin dilakukan. Seperti menggoda banci salon
seberang jalan itu. Lihat, bahkan dia terlihat lebih cantik dari wanita tulen
sepertimu” Tatapanku mengikuti telunjuk Bas yang mengarah pada salon di
seberang jalan.
“Atau melakukan hal memalukan seperti
menulis perasaannya melalui gambaran orang lain dan berharap akan mengecoh
pembaca seolah “apa yang kutulis hanyalah
fiktif belaka”, misalnya. Seakan ia
lupa, beberapa orang paham betul bahwa saat menulis, seorang penulis menjadi
sangat jujur dengan perasaannya,” lanjut Bas dengan dingin, membuat bulu
kudukku bergidik. Apa ini untukku?
“oke, aku. Akulah orang yang
paling memalukan menurutmu. Yang menuliskan banyak hal tentang diriku sendiri, itu
nyata, namun kututupi seolah “ini hanya
fiktif belaka”. Tak masalah bagiku, apapun pendapatmu, Bas. Jangan terlalu
ambil peduli dengan hal-hal memalukanku, Bas. Kamu bisa jatuh cinta padaku, dan
sulit bangkit setelahnya. Kamu tahu itu” Jawabku senewen. Aku dengan sigap menarik
sepiring kentang goreng yang hendak ditarik Bas. Tidak ada perlawanan darinya.
“Mungkin aku mencintaimu,
maksudku… sesederhana itu, seperti katamu, bagiku cinta adalah… ketika kita
ingin ambil peduli tentang hidup orang lain.” Bas gugup, kakinya beberapa kali
dihentakkan di lantai. Dia lucu. Aku tak tahu bahwa kali ini mungkin dia berbicara
serius, atau mungkin saja tidak. Aku hanya bisa tersenyum, sesekali cekikikan
tak mampu menahan tawa.
“Lalu selanjutnya, Bas, kamu akan
menembakku? Berharap aku akan menjadi pacarmu?” aku berusaha memasang tampang sedatar
mungkin.
Bas tertawa, seperti tawa yang
ditahan.
“Ada waktunya perasaan itu
mencapai klimaksnya ketika terjadi sebuah pengakuan. Cinta kadang memiliki
dimensi yang terbatas pada rasa saja. Kebutuhannya sampai disitu. Jikapun aku
mencintaimu, lalu, yasudah” Bas menjadi berbeda. Mungkin hujan sore ini membawa
angin yang menghembuskan mantra-mantra gaib ke ruhnya. Bas, dia tak seperti
yang kukenal biasanya.
“Yasudah? Yasudah. Kan aku sudah
pernah katakan, tak sulit untuk jatuh cinta padaku. Kamu yakin tak akan
berharap lebih padaku?” Aku bercanda dengan tatapan menggoda padanya,
tapi aku tak dapat berbohong, aku gugup bukan kepalang.
“Berharap? Padamu? Aku tak akan
menggantungkan harapan pada hati rapuhmu. Aku akan menggantungkan harapan pada
sang pemilik pohon kehidupan . Kalau Allah berkehendak, kamu memang layak
untukku, kita akan dipertemukan melalui celah sekecil apapun itu”. Bas menunduk. Suasana
café semakin terasa sepi. Suara kendaraan di jalan raya semakin kentara
terdengar. Aku seakan bisa mendengar detak jantungku. Gugup tak menentu.
“Bas…”.
“Aku tak bermaksud mendekap api jahannam ke tubuhku dan tubuhmu. Itu pasti lebih buruk dari hanya
memendam perasaan sepanjang kita masih bisa menahan”.
Langit sore ini terlihat lebih
indah dimataku, Bas. Mulai sekarang mungkin aku akan menyukai
langit itu. Ia terlihat indah. Ia terlihat nyata. Ia terlihat jauh. Seperti kamu
misalnya, Bas. Sekarang aku tahu bentuk dari tulisanku tak pernah punya gambaran. Ia rasa yang menggenang.
0 komentar:
Post a Comment