Wednesday, 30 September 2015

Lirih

-- CERPEN --



Sejak beberapa waktu yang lalu, hujan senang datang tiba-tiba. Tak ada angin ataupun mendung, bahkan saat matahari sedang terik sekalipun, kadang hujan turun uapkan hawa panas jalanan aspal penuh debu. Aku tak tahu sejak kapan, tapi cuaca sudah tak lagi menentu.

Sekedar untuk berteduh, aku duduk santai disudut café. Ditemani coklat panas, kentang goreng yang baru saja diangkat dari penggorengan, dan seorang teman lelaki, Bas, yang mungkin saja adalah calon suamiku. Siapa tahu. Bukan, dia bukan pacarku. Mungkin kami bersahabat. Tapi, ntahlah, kami tak pernah benar-benar menyepakati hubungan seperti apa ini. Dan aku adalah orang yang tak percaya seorang lelaki dan perempuan bisa menjadi sahabat. Yah, kau tahu, manusia selalu punya naluri untuk ingin memiliki.

Aku sibuk memperhatikan kendaraan berlalu lalang, memercikkan air dari genangan di sisi jalan. Sedari tadi, aku tak lihat ada orang yang berjalan kaki. Kini semua terasa berbeda. Dulu, aku sering melihat ibu-ibu atau anak-anak berjalan dibawah hujan dengan membawa payung warna-warni. Itu selalu menarik perhatianku, dulu. Aku senang saat hujan turun karena saat itu aku bisa menggunakan payung boneka hadiah dari mama. Sekarang, aku tak mengerti apakah itu gengsi ataukah memang kebutuhan telah berubah, tak banyak lagi yang memilih berjalan kaki.

Perhatianku teralih saat Bas membolak balik beberapa sisi Koran, melihatnya sekilas, kemudian melipatnya rapi. Aku menyeruput cokelat panas pesananku. Uapnya masih menggumpal, lidahku kelu.

“Aku telah membaca semua tulisan diblogmu. Kenapa kamu senang menulis?”, Bas membuka percakapan. Ntah mengapa selalu percakapan yang ambigu.

Aku tersenyum sesaat. Mengalihkan pandangan pada dua pelayan di meja kasir yang seperti sedang membicarakan kami. Aku tak akan perduli apapun yang mereka fikirkan tentang kami.

“Aku suka menulis, mungkin karena…,” aku masih belum menemukan jawabannya. Aku mengedarkan padangan ke langit-langit café yang saat itu sepi. Muka Bas dengan penasaran menunggu jawabanku.

“Mungkin karena kamu senang membaca, jadi memotivasiku untuk menulis” Lanjutku. Aku tersenyum menggodanya. Bas seperti tersipu dan tertawa ringan. Bas membuang pandangan keluar jendela, matanya menghindari tatapanku. Dia, selalu begitu.

“Aku, bukan tipe yang senang membaca. Kamu tahu itu. ” Jawabnya kaku. Seakan ini pembicaraan yang begitu serius untuknya.

“Lantas, apa hanya membaca tulisanku?”, tanyaku penasaran.

“Iya, mungkin karena itu kamu, aku membacanya,” katanya. Aku mencoba membaca ekspresinya. Bas tertawa lagi. Ini akan menjadi perbincangan yang paling tidak penting dari yang sudah-sudah sepertinya.

“Kamu akan mengatakan betapa melankolisnya aku jika dilihat dari tulisan-tulisan itu. Apa itu terlihat memalukan bagimu?” aku mencoba menggali arah pembicaraan ini. Bas pasti akan membuliku lagi kali ini.

“Pada dasarnya, setiap orang memiliki hal-hal memalukan yang ingin dilakukan. Seperti menggoda banci salon seberang jalan itu. Lihat, bahkan dia terlihat lebih cantik dari wanita tulen sepertimu” Tatapanku mengikuti telunjuk Bas yang mengarah pada salon di seberang jalan.

“Atau melakukan hal memalukan seperti menulis perasaannya melalui gambaran orang lain dan berharap akan mengecoh pembaca seolah “apa yang kutulis hanyalah fiktif belaka”, misalnya.  Seakan ia lupa, beberapa orang paham betul bahwa saat menulis, seorang penulis menjadi sangat jujur dengan perasaannya,” lanjut Bas dengan dingin, membuat bulu kudukku bergidik. Apa ini untukku?

“oke, aku. Akulah orang yang paling memalukan menurutmu. Yang menuliskan banyak hal tentang diriku sendiri, itu nyata, namun kututupi seolah “ini hanya fiktif belaka”. Tak masalah bagiku, apapun pendapatmu, Bas. Jangan terlalu ambil peduli dengan hal-hal memalukanku, Bas. Kamu bisa jatuh cinta padaku, dan sulit bangkit setelahnya. Kamu tahu itu”  Jawabku senewen. Aku dengan sigap menarik sepiring kentang goreng yang hendak ditarik Bas. Tidak ada perlawanan darinya.

“Mungkin aku mencintaimu, maksudku… sesederhana itu, seperti katamu, bagiku cinta adalah… ketika kita ingin ambil peduli tentang hidup orang lain.” Bas gugup, kakinya beberapa kali dihentakkan di lantai. Dia lucu. Aku tak tahu bahwa kali ini mungkin dia berbicara serius, atau mungkin saja tidak. Aku hanya bisa tersenyum, sesekali cekikikan tak mampu menahan tawa.

“Lalu selanjutnya, Bas, kamu akan menembakku? Berharap aku akan menjadi pacarmu?” aku berusaha memasang tampang sedatar mungkin.
Bas tertawa, seperti tawa yang ditahan.

“Ada waktunya perasaan itu mencapai klimaksnya ketika terjadi sebuah pengakuan. Cinta kadang memiliki dimensi yang terbatas pada rasa saja. Kebutuhannya sampai disitu. Jikapun aku mencintaimu, lalu, yasudah” Bas menjadi berbeda. Mungkin hujan sore ini membawa angin yang menghembuskan mantra-mantra gaib ke ruhnya. Bas, dia tak seperti yang kukenal biasanya.

“Yasudah? Yasudah. Kan aku sudah pernah katakan, tak sulit untuk jatuh cinta padaku. Kamu yakin tak akan berharap lebih padaku?” Aku bercanda dengan tatapan menggoda padanya, tapi aku tak dapat berbohong, aku gugup bukan kepalang.

“Berharap? Padamu? Aku tak akan menggantungkan harapan pada hati rapuhmu. Aku akan menggantungkan harapan pada sang pemilik pohon kehidupan . Kalau Allah berkehendak, kamu memang layak untukku, kita akan dipertemukan melalui celah sekecil apapun itu”. Bas menunduk. Suasana café semakin terasa sepi. Suara kendaraan di jalan raya semakin kentara terdengar. Aku seakan bisa mendengar detak jantungku. Gugup tak menentu.

“Bas…”.

“Aku tak bermaksud mendekap api jahannam ke tubuhku dan tubuhmu. Itu pasti lebih buruk dari hanya memendam perasaan sepanjang kita masih bisa menahan”.

Langit sore ini terlihat lebih indah dimataku, Bas. Mulai sekarang mungkin aku akan menyukai langit itu. Ia terlihat indah. Ia terlihat nyata. Ia terlihat jauh. Seperti kamu misalnya, Bas. Sekarang aku tahu bentuk dari tulisanku tak pernah punya gambaran. Ia rasa yang menggenang.
  
   









0 komentar:

Post a Comment