Sunday, 15 March 2015

Hijrah

Kita bergelut dengan kehidupan, juga kematian, dan menimbang seakan keduanya merupakan hal yang bermusuhan, disaat kita sadar bahwa itu merupakan keniscayaan. Bahkan kehidupan adalah pendahulu kematian. Anggaplah hanya soal waktu untuk kita melewati hidup dan lalu mati, atau menunda mati dengan mencari persoalan hidup. Dan semua yang berawal akan berakhir. Walau bagaimanapun kita mengawalinya, tetap akan sulit menebak akan bagaimana akhirnya. 


Kita hanya sedang melewati sebuah titian menuju tempat kembali. Direntang sejauh ingatanku berhijrah, masih sadar  jelas bahwa kita sedang meniti sesuatu, perjalanan yang awalnya kita tahu darimana dan akhirnya kita tahu akan kemana. Menjejak pada titian, kita tahu ia rapuh dan mudah goyang, tapi kita tetap menggantungkan padanya rasa percaya bahwa ia membawa kita menuju sesuatu.  Titian yang menghantar kita pada yang pasti dan berujung pada peradilan yang hakiki.


Aku ingin mencari jalan pulang paling lengang. Sekalipun petaka sekali-sekali meyapa dan menitipkan luka tak sembuh di sekujur tubuh, biarkan aku tetap senyap. Mungkin harus begitu untuk tetap kuat dan menguatkan keimanan pada Pencipta. Tuntun aku pulang, pada titian yang lapang, yang lurus menuju pada-Mu. Jiwa kita berada di tangan sang Maha. Lantas, kenapa bermuram durja, sementara kita pasti akan kembali ke pemilik segalanya.

0 komentar:

Post a Comment