Sunday, 14 February 2016

True Happiness

True Happiness
Aku pernah membaca sebuah tulisan yang berisi percakapan seorang anak dan ibu. Kurang lebih potongan percakapannya mungkin seperti ini, 

sang anak bertanya kepada ibunya,
“Ibu, temanku di sekolah bercerita bahwa Ibunya sangat baik. Jika mereka tidak memiliki cukup makanan, Ibunya akan membiarkan temanku yang makan dan ibunya tidak. Apakah Ibu akan bertindak hal yang sama padaku?”.

Sang Ibu lalu menjawab,
“Tidak. Jika kita kekurangan makanan, Ibu dan Ayah akan bekerja lebih keras lagi sehingga kita punya cukup uang membeli makanan untuk kita makan. Kamu pun tak perlu menelan makanan dengan sakit saat melihat ibu kelaparan.”

Dalam satu waktu, setelah membaca hal itu, aku terenyuh dan akhirnya mengerti konsep bahagia secara sederhana.

Kita harus menjadi bahagia terlebih dahulu agar bisa membahagiakan orang-orang seutuhnya.

Aku meyakini hal itu 95 %. 5% nya aku serahkan pada keadaan yang kadang tidak bisa membiarkan beberapa hal berjalan sebagaimana mestinya, sesuatu yang mereka sebut sebagai kehendak “takdir”. Tapi, toh, takdir pun kita bisa menentukannya.

Kebanyakan dari kita menganggap bahwa tak masalah diri sendiri menderita di saat kita mampu membahagiakan orang lain. Kita lupa, bahwa kita selalu punya pilihan untuk sama-sama bahagia, walaupun dengan sedikit usaha yang lebih. Sederhananya, kita harus cukup kuat untuk bisa menguatkan orang-orang. Dan kekuatan kita peroleh melalui kebahagiaan, berupa ketenangan hati dan fikiran.  

Kita lihat bagaimana perjuangan Ibu. Ibu harus membuat dirinya bahagia mendapat nikmat sehat, hal ini agar bisa menjaga dan memastikan anak dan suaminya sehat juga. Bayangkan jika Ibu sakit, maka rumah akan berada diluar kendali. Sarapan yang terlambat, mainan yang berserak, dan kekacauan lainnya bisa saja terjadi.  Hal ini akan menyebabkam tekanan bagi seluruh anggota keluarga. Ketika Ibu sehat, mungkin hal-hal seperti ini menjadi tidak kita permasalahkan. Maka dari itu, Ibu harus bahagia agar seluruh keluarga bahagia.

Dulu aku pernah bertanya-tanya apakah bahagia itu? Pesta? Kado? Saling Bercanda? Mencintai? Dicintai? Ah, semua terlihat terlalu klise. Bahkan proses mencintai-dicintai tak selalu membahagiakan.Hingga akhirnya aku mengerti, bahwa bahagia adalah keadaan dimana kita merasa tidak lagi menderita. Disaat kita tetap dengan tenang menghadapi semua masalah dan mensyukuri setiap yang telah diberi. Mungkin sesederhana itu.

Terlepas dari semua itu…
Ma, Pa, apakah kalian sendiri sudah cukup bahagia sebelum berusaha membahagiakan keempat anak dengan penuh cinta?

Thursday, 11 February 2016

Ego

EgoMeskipun terlihat seperti ketidaksengajaan yang dibuat-buat, kita sering tak tahu saat orang-orang di dekat ternyata menjerit dalam diamnya dan menangis dalam tawanya. Hanya karena kita tak ingin merasakan betapa dia menderita. Hanya karena kita merasa dia cukup kuat untuk mengatasi semua masalahnya. Hanya karena kita berfikir penderitaan yang ia derita tak pernah kita rasakan, jadi kita merasa tak mampu untuk memberikan solusinya. Hanya karena kita tak ingin berlelah-lelahan. Kita berusaha untuk mengabaikan segala hal yang menyeret kita pada tekanan.

Kita sering lupa, bahwa penderitaan yang dirasakan oleh orang yang kita abaikan, suatu saat mungkin akan menjadi penderitaan kita.  

Aku percaya pada kata-kata seorang, “Kita harus merasakan sakit terlebih dahulu agar bisa mengerti sakit yang diderita orang lain”. Ini mungkin adalah cara pengobatan yang paling mutakhir. Jadi, apakah aku harus berdoa bahwa penderitaan perlu datang untuk membuat orang-orang bijaksana? Terdengar tidak masuk akal.

Kadang, dengan alasan untuk tak ingin masuk dalam ranah pribadi kehidupan orang, kita memilih diam. Kadang, dengan alasan untuk memenuhi hasrat penasaran, kita begitu menggebu untuk mencari tahu segala hal. Kedua hal tersebut cukup menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk yang egois, bukan?

Saat kamu tahu orang-orang sedang menderita, maka pekalah, sekalipun jika itu hanya berpura-pura. Perdulilah, sekalipun jika itu hanya modus semata. Setidaknya, seseorang bisa berbagi walau sedikit dan mengurangi rasa sakit. Buatlah alasan, sekalipun itu kadang tak masuk akal, tapi kamu akhirnya cukup memiliki dorongan untuk membantu. Aku mengerti dengan alibi hidup terlalu penuh sandiwara. Maka bersandiwaralah jika itu kemudian membawa kebahagian kepada orang yang lainnya. Seandainya, jikapun orang-orang tersebut larut dan hanyut, kita tak akan merasa bersalah pada diri sendiri, karena pernah berusaha membantunya dengan memberikan pelampung dan mengulurkan tangan.  

Jika sebegitu sulitnya menghilangkan sifat keegoisan pada sesama manusia, maka cukup dengan tidak egois agar tidak akan membuat diri sendiri menyesal nantinya. Kita tidak akan bisa egois pada diri sendiri, kan?