Aku pernah membaca sebuah tulisan yang berisi percakapan
seorang anak dan ibu. Kurang lebih potongan percakapannya mungkin seperti ini,
sang
anak bertanya kepada ibunya,
“Ibu, temanku di sekolah bercerita bahwa Ibunya sangat
baik. Jika mereka tidak memiliki cukup makanan, Ibunya akan membiarkan temanku
yang makan dan ibunya tidak. Apakah Ibu akan bertindak hal yang sama padaku?”.
Sang Ibu lalu menjawab,
“Tidak. Jika kita kekurangan makanan, Ibu dan Ayah akan
bekerja lebih keras lagi sehingga kita punya cukup uang membeli makanan untuk
kita makan. Kamu pun tak perlu menelan makanan dengan sakit saat melihat ibu
kelaparan.”
Dalam satu waktu, setelah membaca hal itu, aku terenyuh dan
akhirnya mengerti konsep bahagia secara sederhana.
Kita harus menjadi
bahagia terlebih dahulu agar bisa membahagiakan orang-orang seutuhnya.
Aku meyakini hal itu 95 %. 5% nya aku serahkan pada keadaan
yang kadang tidak bisa membiarkan beberapa hal berjalan sebagaimana mestinya, sesuatu yang mereka sebut sebagai kehendak “takdir”. Tapi, toh, takdir pun kita bisa
menentukannya.
Kebanyakan dari kita menganggap bahwa tak masalah diri sendiri
menderita di saat kita mampu membahagiakan orang lain. Kita lupa, bahwa kita
selalu punya pilihan untuk sama-sama bahagia, walaupun dengan sedikit usaha yang
lebih. Sederhananya, kita harus cukup kuat untuk bisa menguatkan orang-orang. Dan
kekuatan kita peroleh melalui kebahagiaan, berupa ketenangan hati dan fikiran.
Kita lihat bagaimana perjuangan Ibu. Ibu harus membuat
dirinya bahagia mendapat nikmat sehat, hal ini agar bisa menjaga dan memastikan
anak dan suaminya sehat juga. Bayangkan jika Ibu sakit, maka rumah akan berada
diluar kendali. Sarapan yang terlambat, mainan yang berserak, dan kekacauan
lainnya bisa saja terjadi. Hal ini akan
menyebabkam tekanan bagi seluruh anggota keluarga. Ketika Ibu sehat, mungkin
hal-hal seperti ini menjadi tidak kita permasalahkan. Maka dari itu, Ibu harus
bahagia agar seluruh keluarga bahagia.
Dulu aku pernah bertanya-tanya apakah bahagia itu? Pesta? Kado?
Saling Bercanda? Mencintai? Dicintai? Ah, semua terlihat terlalu klise. Bahkan proses
mencintai-dicintai tak selalu membahagiakan.Hingga akhirnya aku mengerti, bahwa
bahagia adalah keadaan dimana kita merasa tidak lagi menderita. Disaat kita
tetap dengan tenang menghadapi semua masalah dan mensyukuri setiap yang telah
diberi. Mungkin sesederhana itu.
Terlepas dari semua itu…
Ma, Pa, apakah kalian sendiri sudah cukup bahagia sebelum berusaha membahagiakan keempat anak dengan penuh cinta?