Saturday, 3 September 2016

Menjadi Tua (22)

Menjadi Tua

Aku masih tidak mengerti mengapa pertambahan umur menjadi sesuatu yang layak diberi selamat. Aku masih tidak mengerti filosofi meniup lilin disaat kita mengulang hari kelahiran. Aku hanya setuju jika disaat bertambah umur, kita harus kembali mengenang rasa sakit Mama melahirkan. Mengenang hari dimana Mama mempertaruhkan nyawanya demi nyawa baru. Mencintainya semakin banyak, karena setelah melahirkan, beliau menjaga, menyayangi dan mendidik kita hingga saat ini, hingga aku genap berusia 22 tahun.

Menjadi tua bukan perkara umur saja, tapi fikiran, tindakan dan harapan. Kita menjadi tua saat kita tidur dan masih terbangun di pagi hari. Kita menjadi lebih tua saat yang lebih muda lahir setiap hari. Kita menjadi tua bahkan saat kita berfikir belum pernah menikmati masa muda. Semua berlalu hanya dalam sekejap mata.  Dan kita merayakan pertambahan umur setiap tahun, untuk semakin meyakinkan diri kita bahwa benar kita bertambah tua. Siapa tahu ini akan menjadi tahun terakhir. Siapa tahu. Karena Tuhan punya rencana yang tidak bisa kita tentukan akhirnya.

Manusia lahir tanpa pakaian apapun yang melekat, tanpa harta, tanpa gelar, tanpa tahta, tanpa apa apa. Tapi, kita lahir bersamaan dengan harapan-harapan besar para orang tua yang kita pikul pada pundak-pundak kita. Harapan-harapan itu, sudahkah kamu mewujudkannya? Harapan-harapan itu, apakah kamu sudah memahaminya? Setidaknya berusaha untuk memenuhinya?

Aku 22. Kini menyandang status sarjana, fresh graduate katanya. Walaupun masih tak cukup, setidaknya aku punya suatu hasil yang bisa aku pertanggung jawabkan pada mama dan papa. Ini sebagai harapan, yang mama dan papa merasa terwujud setelah mereka melihatku mengenakan baju toga. Aku lulus tepat waktu, 3 tahun 9 bulan dengan nilai yang cukup membahagiakan, sehingga predikat Cumlaude bisa didengungkan bersamaan dengan namaku saat yudisium dan wisuda. Aku tepat duduk di belakang mama saat itu, menatap mukanya yang menunduk dengan tenang menghela nafasnya. Air muka itu, aku ingin melihatnya lagi. Aku merasa kecanduan untuk membuatnya bahagia lagi, dan lagi. Berharap bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan, bisa memenuhi kebutuhannya, bisa melepaskan segala tanggung jawabnya sebagai orang tua dengan menikahi seorang pria baik-baik yang tentu saja disenangi olehnya, oleh mama dan papa. Mendapatkan ridhanya mereka dan mengenggam berkahnya Illahi Rabbi.

Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku telah menjadi tua, bukan perkara umur saja, tapi fikiran, tindakan dan harapan. Apa yang salah dengan menjadi tua?