Jika aku katakan, mungkin akan terdengar seperti “pemberi harapan palsu”.
Pada siang yang terik, seperti siang-siang kemarin yang kami
lalui. Membincangkan ini-itu. Mengungkit-ungkit kisah masa lalu, menceritakan
hal penting dan tak penting sekalipun. Bagi sekumpulan wanita, hal semacam ini
menjadi wajar di saat mengisi waktu yang lengang. Hingga kami sampai pada topic
yang berhubungan dengan harapan dan hati. Menyampaikan argumen yang sehubungan,
dan saling membantah di beberapa bagian. Maka menurutku, mungkin seperti ini…
Memberikan rasa simpati kepada seseorang memiliki batas normal, yang jika dilanggar akan menimbulkan kesan yang berlebihan. Berlebih untuk menyukai atau malah berlebih untuk membenci. Perbuatan yang senang diartikan sebagai “harapan” bagi hati yang rapuh, kadang tak dapat pungkir hanya seperti putih susu yang tak dimengerti, maksudnya ternyata perbuatan yang diberikan hanyalah sebuah kebaikan atau keindahan yang memang wajar namun kita yang tidak mengerti dan mengharapkan lebih dari yang dimiliki.
Jika aku Tanya, apakah salah menjadi rembulan? Yang datang temani kamu pada malam
dalam sesak dingin yang kelam. Ia terlihat indah, namun kamu tak dapat
menjamahnya dengan sentuhan. Bisakah mengatakan bahwa rembulan adalah pemberi
harapan palsu? Bahwa pada kenyataannya itu adalah sebentuk kewajaran.
Maukah sebentar saja merenungi, mungkin pujian yang diberikan padamu adalah
kepantasan, kebaikan yang ditawarkan adalah kewajaran, dan charismanya yang
kamu rasakan mungkin hanya sebagai bentuk kekaguman. Mereka semua melenakan,
namun kita kadang silap mengartikan rasa itu.
Pantaskah jika ‘harapan palsu’ dianalogikan dengan palang pintu? Orang yang telah kamu
anggap memberikan harapan padamu mungkin akan kamu anggap membuat kamu menjadi
menutupi diri dari orang-orang lain yang ternyata benar-benar memberikan rasa
yang nyata. Dia akan menghalangi orang mengenalmu lebih dekat. Lalu, salah
siapa? Tidakkah kamu yang terlalu terlena dan tak mau pindah dari posisi yang
terus tersudut.
Jadi, kita mungkin tak selalu benar memposisikan diri, Tapi,
menutupi diri juga bukan hal yang benar. Biarkan orang-orang datang dan
pergi dari hidupmu. Perasaan apapun yang diberikan, biarkan takdir yang akan
mewujudkannya dalam kenyataannya. Harapan mungkin akan menjadi nyata, namun
beberapa harapan kadang akan lebih indah jika tetap menjadi harapan.
Dan, tentang pintu itu, teman…
Bisakah kamu tetap berfikir positif? Jika dia berada di depan pintumu, mungkin
akan mampu menghalangi para jiwa-jiwa yang tak layak untuk mengenalmu masuk
lebih jauh. Jika memang itu membuatmu tak nyaman, maka buatlah pilihan terbaik
yang kamu harapkan.
Hati itu, tujuan yang akan dimasuki dengan melalui pintu, harap jaga dengan
sebaiknya, teman J
0 komentar:
Post a Comment