Wednesday, 26 March 2014

Palang Pintu Hati

Teman ku lebih senang menganalogikannya seperti ini “cukup dengan tidak berdiri di pintu masuk”.

Jika aku katakan, mungkin akan terdengar seperti “pemberi harapan palsu”.

Pada siang yang terik, seperti siang-siang kemarin yang kami lalui. Membincangkan ini-itu. Mengungkit-ungkit kisah masa lalu, menceritakan hal penting dan tak penting sekalipun. Bagi sekumpulan wanita, hal semacam ini menjadi wajar di saat mengisi waktu yang lengang. Hingga kami sampai pada topic yang berhubungan dengan harapan dan hati. Menyampaikan argumen yang sehubungan, dan saling membantah di beberapa bagian. Maka menurutku, mungkin seperti ini…

Memberikan rasa simpati kepada seseorang memiliki batas normal, yang jika dilanggar akan menimbulkan kesan yang berlebihan. Berlebih untuk menyukai atau malah berlebih untuk membenci. Perbuatan yang senang diartikan sebagai “harapan” bagi hati yang rapuh, kadang tak dapat pungkir hanya seperti  putih susu yang tak dimengerti, maksudnya ternyata perbuatan yang diberikan hanyalah sebuah kebaikan atau keindahan yang memang wajar namun kita yang tidak mengerti dan mengharapkan lebih dari yang dimiliki. 

Jika aku Tanya, apakah salah menjadi rembulan? Yang datang temani kamu pada malam dalam sesak dingin yang kelam. Ia terlihat indah, namun kamu tak dapat menjamahnya dengan sentuhan. Bisakah mengatakan bahwa rembulan adalah pemberi harapan palsu? Bahwa pada kenyataannya itu adalah sebentuk kewajaran. 

Maukah sebentar saja merenungi, mungkin pujian yang diberikan padamu adalah kepantasan, kebaikan yang ditawarkan adalah kewajaran, dan charismanya yang kamu rasakan mungkin hanya sebagai bentuk kekaguman. Mereka semua melenakan, namun kita kadang silap mengartikan rasa itu.

Pantaskah jika ‘harapan palsu’ dianalogikan dengan palang pintu? Orang yang telah kamu anggap memberikan harapan padamu mungkin akan kamu anggap membuat kamu menjadi menutupi diri dari orang-orang lain yang ternyata benar-benar memberikan rasa yang nyata. Dia akan menghalangi orang mengenalmu lebih dekat. Lalu, salah siapa? Tidakkah kamu yang terlalu terlena dan tak mau pindah dari posisi yang terus tersudut.


Jadi, kita mungkin tak selalu benar memposisikan diri, Tapi, menutupi diri juga bukan hal yang benar. Biarkan orang-orang datang dan pergi dari hidupmu. Perasaan apapun yang diberikan, biarkan takdir yang akan mewujudkannya dalam kenyataannya. Harapan mungkin akan menjadi nyata, namun beberapa harapan kadang akan lebih indah jika tetap menjadi harapan.

Dan, tentang pintu itu, teman…
Bisakah kamu tetap berfikir positif? Jika dia berada di depan pintumu, mungkin akan mampu menghalangi para jiwa-jiwa yang tak layak untuk mengenalmu masuk lebih jauh. Jika memang itu membuatmu tak nyaman, maka buatlah pilihan terbaik yang kamu harapkan. 

Hati itu, tujuan yang akan dimasuki dengan melalui pintu, harap jaga dengan sebaiknya, teman J

0 komentar:

Post a Comment